MANOKWARI, — Masyarakat adat akhirnya menabuh genderang lebih keras —sebagai babak baru— mendesak Pemerintah Provinsi Papua Barat bekerja lebih cepat menyelesaikan rancangan peraturan daerah khusus dana bagi hasil minyak dan gas bumi (DBH Migas) Papua Barat, yang pembahasannya telah tertunda bertahun-tahun.
Tabuhan genderang yang lebih keras tersebut ditandai dengan penyerahan pokok-pokok pikiran Raperdasus DBH Migas, oleh masyarakat adat dari tiga daerah penghasil Migas; Teluk Bintuni, Kabupaten Sorong dan Raja Ampat, ke DPR Papua Barat, Kamis (28/6).
Pokok-pokok pikiran yang diserahkan terkait dengan dana kompensasi kelangsungan investasi, dana pasca operasi, dan dana pemberdayaan masyarakat adat pemilik hak ulayat, serta dana pembinaan dan pengembangan pendidikan tinggi, yang dihasilkan dari DBH Migas.
Selain menyerahkan pokok-pokok pikiran, masyarakat juga memberikan batas waktu kepada Pemerintah Papua Barat untuk menyelesaikan dan mengesahkan Raperdasus tersebut hingga akhir tahun 2018.
Masyarakat adat menyatakan, mereka sudah cukup bersabar dengan lambannya Pemerintah Papua Barat menyelesaikan Raperdasus DBH Migas. Karena itu dengan pokok-pokok pikiran tersebut, mereka berharap pemerintah dapat terketuk dan segera menyelesaikan pembahasannya.
Masyarakat adat mengatakan, kepastian hukum terhadap pengelolaan sumberdaya alam di Papua Barat khususnya Migas harus ada, agar pengelolaan anggaran tersebut bisa dilakukan secara terencana dan langsung menyentuh kantong-kantong penduduk terdampak.
Pokok-pokok pikiran yang dikemas dalam sebuah bundel besar tersebut, diserahkan tokoh masyarakat adat tiga kabupaten penghasil Migas kepada Wakil Ketua DPR Papua Barat Robert Manibuy. Penyerahan itu disaksikan anggota DPRPB, pejabat 3 Pemda kabupaten penghasil Migas, tim teknis kemitraan Pemda-Unipa bersama SKK Migas Perwakilan Papua dan Maluku (Pamalu), dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (Kontraktor KKS) yang beroperasi di Papua Barat.
Wim Fimbay, intelektual Wamesa Bintuni sekaligus ketua tim teknis Pemda daerah penghasil Migas menyatakan, pokok-pokok pikiran tersebut merupakan sumbangan masyarakat adat kepada Pemerintah Papua Barat. Ia menekankan bahwa pemerintah harus memperhatikan daerah penghasil Migas karena merupakan daerah terdampak langsung kegiatan eksploitasi.
“Pokok pikiran ini menjadi sumbangan pikiran untuk memperkaya DPR Papua Barat agar disampaikan kepada Pemprov Papua Barat, dan ini merupakan pertemuan kedua kami dengan DPRPB sejak 7 Juni 2018 lalu,” kata Wim.
Sementara Yahya Syufan yang menyerahkan dokumen pokok-pokok pikiran itu kepada DPRPB menyatakan, kemirisannya menyaksikan orang lain menikmati hasil kekayaan alamnya sementara pemilik ulayat menjadi penonton diatas tanahnya sendiri.
“Kami lihat orang lain berfoya-foya dengan menikmati hasil sumberdaya alam diatas tanah kami, sementara kami miskin diatas tanah sendiri. Sehingga gejolak sosial masih saja terjadi seperti palang-memalang,” ujarnya.
Ia berharap pokok-pokok pikiran tersebut dapat diakomodasi dalam Raperdasus DBH Migas dan menegaskan eksekutif – legislatif untuk bekerja lebih serius. “Saya yakin kepemimpinan DPRPB kali ini bisa menyelesaikan Raperdasus DBH Migas. Saya harus bisa menikmati hasil kekayaan di tanah kami sebelum saya meninggal, dan generasi saya juga harus bisa menikmati,” imbuhnya.
Sufyan berujar, berdasarkan UU Otsus, diatur hasil minyak dan gas 70 persen untuk daerah. “Dari sekian persen itu, kami pemilik ulayat mendapatkan berapa sehingga tidak berulang kali kami menyodorkan proposal kepada perusahaan. Tapi ketika ini terakomodir, kami bisa tahu kepastian bahwa hak kami ada disana, dan anak cucu kita juga tahu kepastian hak mereka,” bebernya.
Sementara itu Robert Manibuy berjanji akan menindaklanjuti pokok pikiran tersebut. Dia mengatakan Raperdasus DBH Migas mendesak untuk diselesaikan dan berjanji akan mengutamakan pembahasannya pada 6 Juli mendatang bersama eksekutif.
Robert menegaskan bahwa Raperdasus DBH Migas mengatur tentang mekanisme distribusi DBH Migas sampai ke tingkat distrik. “Raperdasus ini merupakan aspirasi masyarakat sehingga harus segera disikapi,” ujarnya.
Dia juga mengatakan pokok-pokok pikiran yang diberikan itu dapat mempermudah Bapemperda dalam mengkaji Raperdasus. “Pokok-pokok pikiran ini mengantisipasi sehingga nanti menjadi Perdasus tidak lagi ada persoalan panjang karena ini menyangkut kaitannya dengan adat. Pokok-pokok pikiran ini mempermudah Bapemperda dalam mengkaji lagi sesuai mekanisme kedewanan,” ungkapnya.
Sementara itu, SKK Migas Perwakilan Pamalu menyambut baik diserahkannya Raperdasus DBH Migas tersebut. “Raperdasus ini tidak hanya memberi payung hukum distribusi DBH Migas bagi masyarakat hingga ke kabupaten dan distrik, tetapi membantu dan menjaga berlanjutnya iklim investasi hulu migas yang kondusif,” ujar Kepala Departemen Humas SKK Migas Galih W. Agusetiawan.
Dia mengatakan bersama Kontraktor KKS hadir dalam penyerahan tersebut hanya sebagai fasilitator masyarakat di sekitar area operasional Migas, yang selalu menginginkan adanya fasilitasi komunikasi dengan pemangku pembuat kebijakan daerah agar ada kejelasan terhadap peraturan yang memihak dan memprioritaskan mereka.
Dalam wawancara terpisah, Wim Fimbay mengatakan masyarakat adat memberi waktu kepada DPR Papua Barat untuk membahas dan mengesahkan Raperdasus tersebut paling lambat pada akhir tahun 2018.
“Dalam UU Otsus sudah jelas 30 persen untuk pusat dan 70 persen untuk provinsi. 70 persen berapa yang bisa dikelola oleh provinsi dan tiga daerah penghasil seperti Bintuni, Sorong dan Raja Ampat,” Wim bertanya.
Dia menilai, DBH yang selama ini diatur oleh Pergub masih jauh dari sejahtera. “Kami merasa pembagian menggunakan Pergub belum adil, dari sisi keadilan belum bisa menjawab. Kami harap DPR bisa merealisasikan Raperdasusnya tahun ini, karena tahun depan adalah tahun politik,” ia menegaskan.
Untuk diketahui, Gubernur Provinsi Papua Barat Dominggus Mandacan pernah menegaskan keseriusan pemerintahannya untuk secepatnya bersama legislatif membahas dan mengesahkan Raperdasus DBH Migas. Dominggus menyatakan keterlambatan pembahasan Raperdasus DBH Migas terjadi di pemerintahan sebelumnya. [®]