Koalisi masyarakat adat pelindung hutan Bintuni desak pemda tinjau ulang perizinan perkebunan sawit

oleh -104 Dilihat
oleh
banner 468x60

Bintuni (KADATE) – Perkebunan kelapa sawit yang berdiri di kabupaten Teluk Bintuni dinilai meresahkan masyarakat adat pemilik hak ulayat tempat berdirinya perkebunan tersebut.

Adalah Koalisi Masyarakat Adat Pelindung Hutan Bintuni yang terdiri dari 11 Badan dan lembaga, diantaranya Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Irarutu, LMA Moskona, LMA Sebyar, LMA Distrik Merdey, LMA Tujuh Suku, Himpunan Pemuda Moskona, Ikatan Pemuda Irarutu, Perkumpulan Panah Papua, Gerakan Serikat Buruh Indonesia, Yayasan Pembangunan Teluk Bintuni, dan kepala kampung Meyado II.

banner 336x280

Mereka akan menyuarakan kepada pemerintah daerah (Pemda) Teluk Bintuni mengenai aspirasi dan keresahan yang mewakili warga masyarakat, dengan diutusnya tim perwakilan untuk menyerahkan surat pernyataan sikap.

Pada Rabu (18/7), pukul 10.00 wit tim yang di koordinatori oleh Engelbert dan beranggotakan Fransisco Yassie sebagai perwakilan pemuda tujuh suku, Roy Masyewi perwakilan MHA tujuh suku, Sulfianto alias, Aloysius Entama, dan Yosephina Yarangga dari perkumpulan panah papua, memberikan statement kepada awak media mengenai permasalah tersebut.

“Tugas kami menyerahkan surat pernyataan sikap masyarakat adat kepada Pemerintah daerah, dalam hal ini Kepala daerah sendiri, terkait hutan sawit, di dasari karena banyaknya penebangan pohon yang terjadi. Akhirnya mata pencarian masyarakat terganggu, hal ini yang mendorong kami mewakili koalisi masyarakat adat pelindung hutan Bintuni, akan memberikan ultimatum kepada pemda Bintuni, untuk stop dalam memberikan izin kepada perusahaan sejenis untuk masuk ke Teluk Bintuni,” ungkap Koordinator Engelbert.

Sementara itu, pembukaan hutan yang saat ini sedang berjalan di Barma Barat, wilayah Mayado juga perbatasan antara irarutu dan Kabupaten Fakfak, di kritisi akan menimbulkan ancaman serius bagi kampung di bawahnya yaitu kampung Yakora dan Aranday yang berjumlah sekitar 2000 jiwa, hal ini di imbuh oleh Sulfianto.

“Pembukaan hutan ini, sebenarnya melanggar rencana tata ruang kabupaten Teluk Bintuni dan Provinsi Papua Barat, sehingga di harapkan dapat mengeluarkan instruksi agar menghentikan pembukaan hutan yang berdampak langsung kepada masyarakat setempat,” ujarnya.

Ditanyakan mengenai dampak langsung, Sulfianto yang mewakili perkumpulan panah papua memaparkan, masyarakat sendiri mengatakan bahwa dampak lingkungannya sangat banyak, ” Bisa kita lihat, di Mayado terjadi kekeringan, di Sebyar terjadinya pendangkalan air sungai, dan persoalan lainnya”, imbuhnya.

Setali tiga uang, pendapat yang sama juga di suarakan, oleh Fransisco mewakili pemuda adat tujuh suku, yang juga memberikan pendapat, dimana permasalahan ini akan menjadi dampak yang sangat buruk, saat menyangkut wilayah adat, di contohkan pembukaan hutan pada perbatasan tanah adat wilayah Baham, dan wilayah irarutu, yang dapat menjadi konflik suku, ini merusak tatanan adat yang telah di bangun dan dijaga dari dulu oleh masyarakat.

” Selain lingkungan, tatanan adat, interaksi sosial suku yang berdiam di Teluk Bintuni juga akan ikut rusak, hal ini akibat tidak di filternya investasi perusahaan di Teluk Bintuni khususnya kelapa sawit, dan apabila tuntutan kami tidak di indahkan maka langkah dan tindakan tegas akan kami ambil agar pemerintah dapat tahu bahwa kami serius,” jabar pemuda asal suku Irarutu ini.

Hingga saat ini terdapat lima izin perkebunan sawit yang berinvestasi di wilayah masyarakat hukum adat tujuh suku Kab. Teluk Bintuni, yaitu PT. Subur Karunia Raya, PT. Varita Majutama, PT. HCW Plantation, PT. Rimbun Sawit Papua, dan PT. Bintuni Sawit Makmur, dengan total luas lahan sekitar 116.314 Ha atau sama dengan sebelas ribu kali luas lapangan sepak bola. [Baim]

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.