“Kasian masih ada tong pu sodara-saudara yang jalan kaki kurang lebih 15 kilo meter hanya untuk pergi ke sekolah” Saleh Bauw
BINTUNI, kadatebintuni.com ~ Pendidikan merupakan kunci memberantas kebodohan di dalam kehidupan tiap individu, karena dengan pendidikan dapat mengenal ilmu pengetahuan dan mengembangkan diri dari pelajaran moralitas yang ditanamkan di bangku sekolah, di rumah, dan di kehidupan sehari-hari.
Namun, acap kali berbagai alasan membuat banyak anak-anak harus berhenti menempuh pendidikan, mulai dari biaya sekolah yang mahal, anggapan bahwa bekerja lebih penting ketimbang pendidikan. Ataupun letak geografis lingkungan tempat tinggal dengan sekolah yang sulit untuk di tempuh. Tetapi tidak sedikit juga yang berhasil menang melawan hal-hal tersebut, untuk tetap melanjutkan cita-citanya menempuh pendidikan.
Di Papua ini, juga ada anak-anak yang tidak memperdulikan jauhnya jarak yang harus mereka tempuh untuk kesekolah, karena bagi mereka belajar adalah jendela untuk dapat melihat dunia luar, maka dari itu, tak berlebihan bila kita juluki mereka dengan, sebutan para “serdadu kumbang,” di bumi cendrawasih.
Adalah Yoseph Mukiri dan kawan-kawannya yang berjumlah 10 orang, mereka harus menempuh jarak kurang lebih 15 Km, untuk pergi ke sekolah yang terletak di Kampung Momi Waren, kabupaten Manokwari Selatan (Mansel) Provinsi Papua Barat, dengan berjalan kaki selama kurang lebih 4 jam, baru mereka dapat sampai di sekolah tepat waktu dengan jam pelajaran di mulai pukul 8.00 Wit.
Yoseph dan kawan-kawan harus cepat-cepat berangkat dari rumah pada pukul 4.00 Wit di jam yang mungkin anak-anak lain masih tertidur pulas. “Kami, baku kasih bangun, teman-teman, baru jalan dari jam 4 subuh, nanti singgah di jembatan Mawi, ada sungai untuk mandi, baru jalan lagi,” ucapnya polos.
Padahal medan yang tidak mudah, karena berbukit, dan terjal, serta melintasi hutan, tidak menyurutkan anak-anak asli Papua ini, kehilangan semangatnya untuk dapat mengenyam pendidikan.
Selain membawa tas sekolah, Yoseph dan kawan-kawan juga membawa alat makan dan ember kecil, alat-alat mandi seperti sabun. untuk mengisi perut mereka di perjalanan, Yoseph dan kawan-kawan memasak nasi untuk bekal di jalan, atau jika mereka tidak sempat memasak nasi, kelapa yang tumbuh liar, menjadi pengganjal perut mereka.
Mewawancarai Saleh Bauw, salah seorang pelintas yang pulang dari Manokwari ke Bintuni pada 14 November 2018 yang sempat bertemu dengan Yoseph di perjalanannya di Gunung Botak, mengatakan, perlunya peran serta pemerintah daerah untuk memperhatikan anak-anak, yang berjuang melawan kebodohan, meski itu artinya harus menempuh jarak yang tidak biasa di usia anak-anak itu.
“Semoga saja pemerintah bisa menyiapkan kendaraan untuk antar jemput adek Yoseph dan kawan-kawannya untuk pergi kesekolah. Kasian masih ada tong pu sodara-saudara yang jalan kaki kurang lebih 15 kilo meter hanya untuk pergi ke sekolah.
Kalian yg pernah berada digunung botak pasti tau. Begitu banyak tanjakan harus di lewati dengan berjalan kaki. Terakhir yang saya tahu dia mulai berjalan dari rumah ke sekolah jam 4 subuh dan sampai di sekolah sudah jam 8 pagi,” ujar Saleh Bauw.
Harapannya, semoga saja pemerintah daerah setempat bisa menyiapkan transportasi antar jemput buat adik Yoseph Mukiri dan beberapa temannya yang tidak sempat saya angkut di perjalanan tadi.
Ia lalu menghimbau agar para sopir mobil-mobil Hilux yang melintas agar memperhatikan laju kendaraanya, karena jalanan lintas juga di pergunakan anak-anak sekolah untuk melintas.
“Kiranya jika menjumpai adek-adek ini sedang melintas, berilah mereka tumpangan, tolong dan sayangi mereka,” tungkas pria yang berprofesi sebagai tenaga medis di Bintuni itu. [Baim]