*). Oleh : Wahyu Rumagesan
Melintasi jalan diareal perkebunan kelapa Sawit milik PT. Varita Majutama yang terletak di Distrik Sumuri Kabupaten Teluk Bintuni Papua Barat, serasa lengkap dengan fasilitas refleksi layaknya outlet-outlet massage di kota besar.
Bantingan dan zig-zag kemudi mobil, disertai bunyi ban yang seolah menggodam keras permukaan nan cadas berhampar sirtu pada permukaan jalan perkerasan, terasa lengkap dengan sajian debu yang berterbangan menghiasi terik panas yang menjadi langganan setia dilangit Sumuri.
Rute siang ini kami tempuh guna menuju Tofoi, ibukota Distrik. Jangan bayangkan jejeran Ruko atau Mall-Mall disini. Apalagi membayangkan kendaraan mewah Eropa atau Amerika seperti dijalanan mama-kota Jakarta.
Menemukan Jonder dan Dump Truck Dyno tua dengan load bak karatan per-30 menit sekali adalah gambaran sepinya lintas harian dirute ini. Mungkin hanya sesekali berpapasan sepeda motor warga penghuni plasma atau pekerja buruh petik sawit.
Jejeran rimbunan Sawit tua disini pun tak sesejuk lamtoro gung dikota yang berwarna lebih hijau. Sawit disini seolah kucel, tak pernah mandi, berlumut, dibalut warna khas yang pucat gersang.
Satu jam perjalanan hingga keluar dari blok ini, hasil pijatnya pun terasa. Punggung njarem, pinggang pegel linu, bokong bak kram dan matirasa, belum lagi kaki bersafety shoes yang kesemutan karena membantu seat belt menopang beban tubuh yang terombang ambing ombak darat macadam, leher tegang kaku, perut tak nyaman karena seolah dikocok wahana Columbus, hingga ke pusing yang datang bertamu.
Hasilnya mirip dengan pijat refleksi. Bedanya, di outlet massage kota besar, kita keluar dengan perasaan badan segar, sementara disini (Tofoi), keluar mobil dituntut tegar. Ya.. Tegar guys.. Tegar.. Tegar menerima kenyataan bahwa masih ada 1 jam lagi perjalan pulang melalui rute yang sama !
Ditengah perjalanan, kami temui sebuah truck. Truck ini sesungguhnya adalah truck yang biasa dipakai memuat hasil panenan sawit. Namun pemandangan siang ini, sungguh berbeda.
Sontak membuat saya tertunduk malu. Saya musti bersyukur, sederet kelumit pemandangan tak enak yang saya sajikan sebagai mukadimmah diatas, seperti hendak saya telan kembali.
Manakala menyadari bahwasanya saya; menggambarkan itu semua dari dalam kendaraan nyaman milik perusahaan, yang sejuk ber-ac, dilengkapi air mineral, serta bekal makanan cathering berstandard perusahaan oil & gas. Ini kontradiksi dengan pemandangan disini dimana sebungkus Indomie bisa berharga limaribu rupiah.
Jangan bayangkan martabak Malvinas, atau terang bulang khas Bangka disini ! Disini, ketela rambat dan pisang goreng, sudah jadi jajanan istimewa bagi semua kalangan. Namanya mas Slamet, ia adalah satu-satunya pelaku bisnis bidang goreng-menggoreng tersebut.
Entah karena tak ada pilihan, diwarung gorengan miliknya, menyeruput kopi tubruk merk dagang lokal ditambah sepenggal Ketela goreng, serasa makan donat J-co sembari ngopi ala Starbuck. Warung yang ternyata bukan saja menjual gorengan, ia juga menjual makanan ala warteg disini.
Ditambah outlet kecil bedagang voucher pulsa telpon seluler, saya menganggap warung ini adalah warung 3 in 1 (three in one) dimana perpaduan warteg, counter Handphone dan gorengan jadi satu didalamnya.
Balik ke soal kaget dengan pemandangan diatas truck yang saya temui, bukannya muatan sawit melainkan manusia yang ada didalam bak muatannya. Sedihnya, anak-anak sekolah yang menumpang untuk pulang kerumahnya yang jauh didalam blok-blok sawit.
Bagi mereka yang tak punya kendaraan sepeda motor, berjalan kaki adalah satu-satunya opsi yang dimiliki. Tak ayal, mendapat tumpangan gratis adalah berkah. Jangankan Truck, alat berat seperti Jonder pun tak akan dilewati untuk meminta tumpangan sejauh mungkin untuk setidaknya memangkas kiloan meter jarak yang harus ditempuh dengan jalan kaki.
Saya juga menganggap Truck disini adalah 3 in 1 soal fungsi. Memuat buah sawit hasil panen, memuat manusia dan hewan ternak, terkadang bahkan juga memuat orang sakit yang harus dievakuasi dari rumah ke Puskesmas. 3 in 1 bukan ?
Kembali tentang anak-anak sekolah tadi, saya bisa membaginya kedalam 3 in 1 sesuai kategori usia atau profesi penumpangnya. Bayangkan, diatas bak truck terdapat beberapa anak- anak sekolah (smp dan sma), serta juga beberapa orang guru dan seorang suster/perawat yang terlihat jelas dari seragamnya.
Saya juluki truck ini 3 in 1 karena ia berfungsi sebagai bus sekolah, kendaraan dinas guru dan ambulance mungkin klasifikasi yang tepat karena mengantar perawat kerumah-rumah pasien !
Saya sadar dari cerita saya ini saya dan rekan-rekan yang menyaksikan pemandangan siang ini sepakat bahwa Sumuri berada dalam himpitan industri 3 in 1.
Ada perkebunan sawit disini, wilayah ini pun adalah Distrik penghasil gas dimana ada pabrik LNG diwilayah Distrik ini, namun ketertinggalan dalam hal sarana prasarana serta kesejahteraan masih begitu terlihat disini. 3 in 1 perpaduan antara pabrik gas, perkebunan sawit dan masyarakat miskin ! Sangat miris.
Bersama kedua rekan saya pun harus bersiap-siap menempuh 1 jam rute pulang ke camp kami sambil banyak bercerita tentang harapan-harapan bahwa suatu hari nanti daerah ini akan tumbuh pesat dan masyarakatnya sejahtera.
Kami bisa saja menaruh harapan melalui doa ketiga orang dari suku berbeda ini, Manado, Arguni, Irarutu. Barangkali doa tulus dari 3 orang ini melebur menjadi satu layaknya 3 (suku) in 1 (doa) dan Tuhan mendengarnya.
Ternyata, 3 in 1 bukan hanya varian kopi tora bika atau aturan lalu lintas di mama-kota Jakarta. Kitonk disini juga punya banyak model 3 in 1.
Nagote, 26 November 2018
Salam
*) Penulis