Oleh, Nasaraudin Sili Luli *)
Komisi Pemilihan Umum (KPU) siap melanjutkan tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020, yang sempat tertunda selama hampir tiga bulan akibat pandemi Covid-19. Peraturan KPU (PKPU) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pilkada pun telah ditetapkan pada Jumat, 12 Juni 2020.
PKPU ini merupakan perubahan dari PKPU Nomor 15 Tahun 2019. Revisi dilakukan lantaran tahapan, program, dan jadwal Pilkada disesuaikan dengan situasi pandemi Covid-19. Pemilihan kepala daerah 2020 akan digelar di 270 wilayah di Indonesia, meliputi; 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Hal yang sempat menjadi viral dan menjadi perbincangan di berbagai media karena banyak foto Sri Mulyani menempel di bansos hingga hand sanitizer untuk warga terdampak Covid-19. Dari foto beredar di dunia maya, foto Sri tertempel di sejumlah dus bansos dan sembako, seperti beras. Parahnya lagi, foto Sri ditempel di hand sanitizer pemberian Kemensos.
Tidak lupa foto tersenyumnya nangkring di situs penanganan corona Pemkab Klateng. Aksi membranding diri di tengah pandemi Covid-19 ini disesalkan banyak pihak. Apalagi Sri Mulyani diketahui akan terjun lagi di Pilbup Klaten 2020.
Kasus di atas sebelumnya sudah diingatkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian sudah mewarning kepada kepala daerah yang akan mau maju kembali agar tidak melakukan politisasi Bansos untuk kepentingan pilkada tahun 2020, tercatat ada 224 petahana (kepala daerah incumbent) yang kemungkinan mencalonkan diri pada Pilkada 2020.
Dari 270 daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada Serentak Tahun 2020, sebanyak 224 incumbent berpotensi kembali mencalonkan diri.
jejak Bansos Incumbent
Pada laman resmi Bawaslu RI, hasil pengawasan jajaran pengawas di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota setidaknya terdapat pembagian bansos saat pandemi Covid19 di 23 Kabupaten/Kota pada 11 provinsi yang diduga telah dipolitisasi oleh petahana.
Mungkin secara prosentase jumlah ini kecil dibanding jumlah daerah yang akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah tahun ini yang terdiri dari 9 provinsi dan 261 kabupaten/ kota. Jika hal ini dilumrahkan, maka bukan saja menciderai semangat demokrasi tetapi telah mengarah sebagai perbuatan melawan hukum.
Wujud politisasi bansos ini beragam, jika kita memetakan ada empat modus, pertama, bansos yang didistribusikan dikemas atau dilabeli gambar kepala daerah yang incumbent . Kedua, bansos dikemas dengan menyertakan jargon dan simbol-simbol politik atau jargon kampanye yang telah digunakan pada pilkada periode sebelumnya atau yang akan digunakan pada pilkada tahun ini.
Ketiga, bansos diberikan tidak mengatasnamakan pemerintah, melainkan atas nama kepala daerah yang petahana atau pribadi. Itulah mengapa transparansi dan akuntabilitas sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah perluh menjadi perhatian bagi semua pihak.
Keempat, Posisi petahana ditunjuk jadi Kepala Gugus Tugas Penanganan Covid-19 daerah. Persoalan ini sama saja dengaan membuka peluang petahana untuk memuluskan langkahnya di Pilkada 2020. Bisa menang mudah dengan biaya super murah, karena anggaran penanganan Covid-19 besar. Petahana bisa menyelam sambil minum kopi, menangani Covid-19 sambil sosialisasi dan melakukan kampanye terselubung. Artinya ini kemudian mengundang banyak reaksi dari kalangan untuk meminnta petahana agar mundur dari kepala Gugus Tugas Penanganan Covis-19 di daerah.
Tinjauan Regulasi
Dalam Edaran Mendagri, petahana dimaksud adalah Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, Wali Kota atau Wakil Wali Kota pada daerah yang menyelenggarakan Pilkada baik yang mencalonkan maupun tidak mencalonkan dalam Pilkada.
Penegasan ini untuk menjelaskan frase yang terdapat pada Pasal 71 Undang-undang No. 10 Tahun 2016. Artinya dalam konteks ini, petahana dapat diterjemahkan memiliki dualisme kedudukan yakni sebagai kepala daerah menjabat dan kepala daerah yang mencalonkan dalam Pilkada.
Konteks pertama, petahana sebagai kepala daerah menjabat, maka terikat terhadap peraturan perundangan berlaku. Sebut saja Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 76 Ayat 1 Poin (a) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilarang untuk membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan pribadi, keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Ancaman sanksi dari delik ini yaitu Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah dapat diberhentikan (Pasal 78 Ayat 2 e). Walau banyak pihak menganggap bahwa proses ini akan cenderung politis, karena melalui pengajuan Pimpinan DPRD dan secara berjenjang disampaikan kepada Presiden.
kepala daerah dan/atau calon wakil kepala daerah, pada Pasal 71 Ayat 3 UU No. 10 Tahun 2016(4) yang secara pokok memberi larangan bagi kepala daerah menggunakan kewenangan dan program yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.
Pelanggaran atas perbuatan ini diancam dengan 2 (dua) jenis sanksi, yakni: Sanksi administrasi dengan ancaman pembatalan sebagai calon(5), serta sanksi pidana dengan ancaman kurungan dan/atau denda(6).
Perluh Langkah Perbaikan
Tidak etis karena bantuan sosial itu bukanlah bukti kemurah-hatian personal kepala daerah petahana, melainkan hak kalangan rentan yang membutuhkan jaminan perlindungan negara. Tidak sensitif karena dengan politisasi semacam ini seakan kepala daerah yang petahana sedang menari di atas penderitaan warga sendiri.Terkait dengan persoalan diatas maka perluh di lakukan langkah -langkah progresis untuk melakukan pencegahan dini.
Pertama, pemerintah pusat harus tegas mengingatkan kembali para kepala daerah khisusnya yang incumbent atau petahana agar tidak melakukan politisasi Bansos. Kedua, Bawaslu dapat secara berkala mengumumkan gejala politisasi Bansos kepada khalayak agar berdampak sanksi sosial. Ketiga, KPU harus segera melakukan sosialisasi secara masif PKPU Nomor 5 tahun 2020 terkait tahapan dan jadwal Pilkada agar tersedia dasar hukum bagi penindakan pelanggaran dimaksud.
Gejala politisasi Bansos sebenarnya telah berulang kali terjadi. Ini memberi signal bahwa aturan yang ada tidak mampu menjangkau pelanggaran yang sekaligus merendahkan kalangan rentan sebagai komoditas politik tersebut.
Saat ini perlu dipikirkan suatu aturan yang melarang disertakannya atribut atau tanda-tanda lain pada bantuan yang diberikan, kecuali nama institusi. Selain itu, perlu dibangun kesadaran bahwa setiap level pemerintahan memiliki tanggungjawab tertentu untuk memberi perlindungan sosial bagi kalangan rentan.
Dengan demikian, bansos tidak perlu dipandang sebagai kemurah-hatian personal seorang Incumbent (Petahana) kepala daerah.
*). Penulis adalah Pegiat Kebangsaan dan Kenegaraan