Oleh: Fransisco Yassie *)
“Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat, mengartikan Demokrasi sebagai Government of the people, by the people, for the people (pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat)”
Andai kita flashback (melihat kembali) pada sejarah masa lalu tentu ada titik dimana kita memahami apa makna sesesungguhnya kekebabasan itu ?
Demokrasi (kebebasan) itu tidak lahir instan begitu saja melainkan lahir dari suatu fase dimana tiap orang merasa hak asasi atau kebebasannya dihimpit. Jika kembali mengambil sampel sejarah bangsa Indonesia, maka asal muasal kebebasan yang dimaksud itu lahir sebagai akibat kontra kelompok anti rezim otoritarianisme saat itu.
Konon rezim yang di pimpin oleh Presiden Soeharto. Rezim yang diidentikan dengan otoriter, KKN, represif dan anti kritik. Karena terhimpitnya kebebasan itulah kemudian memunculkan polemik terjadinya gelombang aksi di seluruh penjuru tanah air. Gelombang protes di mana-mana bahkan masa meminta rezim yang berkuasa 32 tahun itu turun, sebab dianggap otoriter, anti kritik dan korup. Alih-alih kebebasan rakyat di bredel dengan popor senjata, di bungkam dengan instrumen kekuasaan yang sangat anti kritik.
Namun, apa yang terjadi ketika tuntutan aksi tak hentinya mengalir? Fase ini kedaulatan rakyat ditegakan. Apa yang Abraham Lincoln katakan bahwa demokrasi sejatinya akan bermuara pada “ Government of the people, by the people, for the people”. Artinya rakyat benar-benar menunjukan eksistensinya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi sebuah Pemerintahan. Rezim yang memiliki segala macam instrumen berhasil di tumbangkan dengan suara yang tak henti.
Demokrasi Dan HAM
Demokrasi semata-mata lahir untuk menegakkan hak asasi manusia (HSM), dari tiap individu warga negara Indonesia. Demokrasi atau kebebasan yang di maksud dalam konteks berbangsa dan bernegara adalah kebebasan yang ditujukan untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, moral dan etika.
Kita di tuntut untuk memanusiakan manusia satu dengan manusia lainnya dengan kebebasan yang kita miliki. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia merupakan centrum-nya nilai yang tidak dapat dipisahkan.
Kita ketahui bahwa Hak Asasi Manusia yang melekat pada pribadi manusia Indonesia adalah hal yang kodratia. Manusia harus dilihat sebagai makhluk yang bebas atas dasar kemanusiaan.
Namun, perlu di pahami bahwa apa sebenarnya kebebasan itu ? kebebasan ada batasannya. Kita di ikat oleh norma-norma hukum dan norma sosial dalam kehidupan berdemokrasi. Kebebasan harus dilihat sebagai suatu sumber moralitas dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan.
Sebagai Negara multi etnis, agama dan budaya, maka kita juga di ikat oleh norma-norma adat dan agama. Agama dan Adat juga punya sanksi apabila dalam kehidupan sosial kita mengalami orientasi norma.
Dalam kehidupan demokrasi, kita dituntut untuk menggunakan kebebasan pada ruang dan waktu yang tepat. Kebebasan yang kita miliki dimaksud untuk menarik simpati sosial dalam memperjuangkan nilai-nilai moral, keadilan dan kesejahteraan.
Demokrasi Dan Tuntutan
Pilkada serentak di tetapkan pada tanggal 9 Desember 2020. Sementara tahapan segera di gulirkan, belum pada tahapan pendaftaran, situasi memanas jelang perebutan rekomendasi partai sebagai pra syarat untuk ikut berkontestasi. Belum apa-apa, serangan media sosial, media massa dan media-media online masif di genjarkan. Euforia pilkada semakin nyata ketika parsitipasi publik ikut meramaikan perdebatan calon Kepala Daerah.
Terlibatnya partisipasi publik memberikan pendapatnya pada Calon Kepala Daerah ini sangat positif. Semakin banyak ruang politik di buka tentu akan semakin mendidik dan menalar rasionalitas publik.
Terutama memberikan penilaian terhadap calon kepala daerah yang benar-benar representatif rakyat. Dan ini kita debatkan diruang publik semata-mata untuk menemukan pemimpin yang ideal dan mampu menjadi pelopor perubahan didaerah.
Oleh karena itu. Jika kembali pada esensi demokrasi, maka kebebasan yang kita gunakan bukanlah kebebasan untuk menyerang individu atau personal calon kepala daerah. Kebebasan kita tidak penting untuk saling mencaci, mencemoh, membenci dan menjatuhkan martabat individu orang tapi paling penting mendebat soal hal-hal yang subtantif.
Perdebatan yang harus ditonjolkan adalah untuk membuka cara pandang rakyat terhadap hal-hal yang konstruktif. Tuntutan hal-hal konstruktif adalah tanggungjawab kita dalam merubah Pemerintahan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
Maka, Pilkada merupakan momentum yang konstitusioanal dalam memilih pemimpin yang baik dan memiliki sense of belonging, cinta rakyat kecil dan mampu menjawab aspirasi masyarakat. Tuntutan hak dan kebebasan politik kita pada pilkada Teluk Bintuni tahun 2020 didasarkan keinginan untuk merubah pemerintahan menjadi lebih baik dan bermartabat.
Konklusi dan pesan tulisan ini menuntut pemimpin kita yang lahir dari proses demokrasi, agar selalu Amanah terhadap tanggungjawab yang rakyat berikan. Sehingga Pesta demokrasi tidak di lihat hanya sebagai proses politik yang biasa-biasa saja melainkan sebuah peristiwa politik yang memiliki makna mendalam.
Kita juga harus menyadari bahwa rakyat bisa melengser pemimpinnya, jika rakyatnya tidak amanah. Rakyat punya kedaulatan yang patut di apresiasi, jika tidak akan berimplikasi pada runtuhnya rezim.
*) Mantan Ketua Cabang GMNI Sumedang, Pemerhati Sosial Politik di Bintuni