Oleh, Nasarudin Sili Luli *)
Kelembagaan Pengawas Pemilu baru muncul pada pelaksanaan Pemilu 1982, dengan nama Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu (Panwaslak Pemilu). Pada saat itu sudah mulai muncul distrust terhadap pelaksanaan Pemilu yang mulai dikooptasi oleh kekuatan rezim.
Pembentukan Panwaslak Pemilu pada Pemilu 1982 dilatari oleh protes-protes atas banyaknya pelanggaran dan manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh para petugas pemilu pada Pemilu 1971. Karena palanggaran dan kecurangan pemilu yang terjadi pada Pemilu 1977 jauh lebih masif.
Pada hari kamis tanggal 9 bulan April tahun 2020 Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) genap berusia 12 tahun kalau di lihat dari usia biologis maka usia 12 tahun sering juga disebut dengan usia remaja, yaitu peralihan dari anak-anak menuju remaja.
Dari perkembangan dan keberadaan Bawaslu sekarang tentu menemui dinamika dan tantangan kelembagaan yang tidak selalu mulus, kita baru saja menyaksikan pilihan untuk menunda tahapan Pilkada 2020. Bahkan opsi menunda Pilkada dapat dikatakan sebagai satu-satunya pilihan di tengah pandemi Covid-19 yang terus mengkhawatirkan.
Kesimpulan pada poin pertama dalam rapat dengar pendapat antara DPR, Pemerintah, dan Penyelenggara Pemilu pada 30 Maret 2020, mengakui bahwa pandemi Covid-19 masih belum terkendali. Melihat penyebarannya yang semakin meluas hampir di 32 provinsi, Pilkada 2020 di 270 daerah, harus ditunda.
Begitulah akhir dari rapat dengar pendapat antara DPR, Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu. Lantas bagaimana dengan nasib Perpu yang samapai aaat ini belum juga di keluarkan oleh pemerinta?.
Bawaslu dan Perppu
Perintah pelaksanaan Pilkada pada September 2020 ada di Pasal 206 ayat (1) UU No. 10/2016. Artinya, jika hendak menunda pelaksanaan pilkada di luar waktu yang sudah ditentukan oleh UU tersebut, diperlukan perubahan UU.
Pilihan melakukan perubahan dapat dilakukan dengan dua pilihan. Pertama, melakukan revisi cepat terhadap UU No. 10/2016. Kedua, Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Melihat kondisi saat ini maka hal yang paling logis dilakukann dengan dikelurakannya Perppu penundaan Pilkada tahun 2020. Jika Perppu suda terbentuk maka lembaga yang paling berdampak sebenarnya adalah Bawaslu dan penyelelengara pemilu lainya, oleh karena Bawaslu bisa menginisiasi usulan dalam pembentukan Perppu tersebut.
Jika kita merevisi pandangan sebelumnya mengatakan bahwa Perppu mesti menempatkan jadwal Pilkada lanjutan dalam desain keserentakan pemilu nasional-lokal sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.55/2019. Maka Bawaslu perlu menginisiasi hal diatur di dalam Perppu penundaan Pilkada tahun 2020.
Pertama, implikasi teknis penundaan Pilkada yang mengakibatkan terjadinya perubahan aturan di UU Pilkada. Perppu dinilai wajib memuat mekanisme penundaan Pilkada, waktu pemungutan suara, dan skema pengembalian anggaran Pilkada kepada Pemerintah Daerah.
Masa kerja PPS (Panitia Pemungutan Suara). Ada di UU Pilkada bahwa PPS dibentuk enam bulan sebelum pemungutan suara hal ini perlu menjadi perhatiaan jika terbentuknya PPS dengam melihat masa kerjanya.
Kedua, Bawaslu bisa mengusulkan agar Pilkada dilaksanakan setelah pertengahan Juni 2021, dan waktu pemungutan suara diserahkan kepada KPU. Waktu yang cukup dibutuhkan untuk mengantisipasi dampak ikutan dari Coronavirus disease 2019 (Covid-19) sehingga Perppu tak perlu keluar dua kali. Pandangan yang mengatakan puncaknya Juli 2020. Implikasi ikutan dari Covid-19 tidak berhenti di bulan Juli 2020. Maka perlu di lakukan dengan hitungan yang matang terkait kapan covid -19 ini akan berakhir karena ini akan berdampak pada berubanya aturan.
Ketiga, Bawaslu mengusulkan agar anggaran dibiayai oleh APBN dengan dibantu APBD melihat pengalaman pada tahapan Pilkada 2020 ini begitu lambatnya pencairan anggaran pilkada sehingga bisa mempengarui tahapan yang akan di laksanakan. Hal ini karena masih banyak pemda yang belum punya kesadaran penuh terkait pembiayaan Pilkada ini dari sumber APBD.
Oleh karena Bawaslu harus menegaskan kepada pemerintah bahwa Perppu dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah untuk mencegah kekacauan elektoral akibat Pilkada serentak yang dilaksanakan pada 2024, bersamaan dengan pemilu nasional. Pilkada lanjutan 2020 dirasa dapat digabungkan dengan Pilkada Serentak bagi daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir hingga Juni 2022.
Bagi daerah yang akhir masa jabatannya setelah Juli 2022 sampai dengan 2024, pilkadanya dilaksanakan setelah Juni 2022 atau awal 2023. Ini relevan untuk masuk Perppu karena ini bagian untuk mengatasi situasi genting kalau dipaksakan Pilkada nasional di 2024.
Keempat, Bawaslu bisa mengusulkan pengulangan tahapan pendaftaran calon perseorangan. Perlu menjadi pertimbangan dalam Pemangkasan jadwal tahapan pendaftaran calon dari jalur perseorangan yang sebelumnya dilakukan sesuai dengan perubahan terhadap PKPU Nomor 15 Tahun 2019 menjadi PKPU Nomor 16 Tahun 2019 tentang syarat penyerahan dukungan bagi bakal calon perseorangan.
Akan tetapi revisi PKPU Nomor 16 Tahun 2019, karena adanya perubahan jadwal untuk pendaftaran calon perseorangan yang awalnya dilaksanakan selama 4 bulan dipangkas menjadi 5 hari .
Kelima, Bawaslu mengusulkan agar dalam Perppu terkait rekapitulasi elektronik agar tidak masuk dalam Perppu perubahan pilkada hal ini mengingat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penerapan rekapitulasi elektronik pada pemilihan umum masih minim. Hal tersebut menjadi kendala yang masih harus dipecahkan jika rekapitulasi elektronik akan diterapkan pada Pilkada Serentak 2020.
Dalam pasal 84 ayat 2 telah menutup pintu bagi sistem rekapitulasi elektronik ini untuk bisa diterapkan. Pasal itu menyatakan pemungutan suara adalah pemberian tanda pada kertas suara. Namun, peluang untuk menggunakan sistem tersebut sedikit terbuka di pasal 98 ayat 3 UU Pilkada.
Penghitungan suara yang dilakukan secara elektronik dilakukan secara manual dan/atau elektronik. Pasal 111 ayat 1 UU Pilkada mengatakan perhitungan suara pemilihan secara manual dan atau melakukan sistem perhitungan suara secara elektronik diatur dengan peraturan KPU.
Regulasi ini juga membuka peluang bagi KPU untuk menerapkan sistem rekapilutasi elektronik. Kalau dilakukan secara manual maupun elektronik maka harus dituangkan di dalam peraturan KPU, mandat yang seharusnya cukup tegas pada KPU untuk menyusun detail-detail teknikalitas pelaksanaan e-rekap itu. Jika melihat kondisi geografis di Indonesia dengan keterbatasan fasilitas maka belum saatnya untuk diterapkannya di Pilkada 2020.
Keenam Bawaslu mengusulkan penentuan pejabat kepala daerah perlu menjadi pertimbangan matang dalam Perppu. Lantaran Indonesia dilanda Covid-19, ada sekitar 200 daerah yang harus menunda pemilihan kepala daerah tahun ini. Dengan begitu, akan terjadi banyak kekosongan jabatan setelah periode kepemimpinan kepala daerah terkait berakhir.
Perppu penundaan Pilkada harus mengatur lebih spesifik siapa saja yang bisa mengisi kekosongan jabatan kepala daerah. Mulai dari pejabat setingkat Bupati, Wali Kota hingga Gubernur. Mungkin perlu dipertimbangkan jabatan apa yang memadai agar pemenuhan pejabat kepala daerah itu bisa dilakukan pemerintah.
Bawaslu bisa merekomendasikan dan meminta agar pembahasan Perppu penundaan Pilkada dilakukan secara transparan. Langkah ini dianggap penting guna mencegah masuknya pasal-pasal tidak penting dan akhirnya merugikan masyarakat pada umumnya termasuk Bawaslu dan penyelenggara pemilu lainya terkusus masyarakat.
Dari keenam ususlan Bawaslu diatas harus menjadi ikhtira Bawaslu dalam memberikan usul terkait Perppu penundaan Pilkada tahun 2020 di usia yang ke-12 tahun ini akan menjadi kado istimewa karena Pemilu mengingatkan kita tidak hanya tentang hak tetapi tanggung jawab kewarganegaraan dalam demokrasi.
*). Penulis adalah Pegiat Kebangsaan dan Kenegaraan