Pers di Tengah Hegemoni Kekuasaan

oleh -813 Dilihat
oleh
banner 468x60

Oleh: Fransisco Yassie *)

Demokrasi lahir dari rentetan peristiwa sejarah Bangsa Indonesia. Kebebasan itu lahir sebagai akibat pertentangan dan perlawanan kelompok anti terhadap rezim otoritarianisme saat itu. Yaitu rezim yang dipimpin oleh Presiden kedua, Soeharto. Rezim yang konon identik dengan otoriter, KKN, represif dan anti kritik ini kemudian memunculkan polemik terjadinya gelombang aksi besar-besaran di seluruh Tanah Air.

banner 336x280

Lalu kemudian terjadinya instabilitas ekonomi akibat krisis moneter di Amerika saat itu, berimplikasi pada dilema kekuasaan. Massa meminta rezim yang berkuasa 32 tahun itu turun karena sangat otoriter, anti kritik dan korup. Alih-alih kebebasan dibredel dengan popor senjata, dibungkam dengan instrumen kekuasaan yang sangat anti kritik.

Kekuasaan saat itu memang benar-benar dikendalikan melalui instrumen kekuasaan. Sehingga yang oposisi selalu dipandang sebagai pembatas bagi jalannya pemerintahan saat itu. Bahkan sebagian besar media dikendalikan untuk menjalankan hasrat kekuasaan.

Bayangkan, zaman otoriter saat itu dengan berbagai macam soal yang kompleks. Bersuara dan berekspresi dibungkam hingga kecenderungan media mayoritas membeking agenda kekuasaan. Etika jurnalistik jauh dari prinsip-prinsip sesungguhnya yang diamanatkan.

Namun, tidak semua media menjadi tameng penguasa tapi justru melawan sistem yang otoriter itu. Sehingga tidak ada jalan lain, selain kekuataan rakyat (people power) menjadi satu-satunya jalan melawan otoritarianisme dan keluar dari rezim yang sangat kuat saat itu.

Pers : Antara Etika dan Tuntutan

Berdasarkan ketentuan pasal 33 UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan Fungsi Pers adalah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Sementara itu Pasal 6 UU tentang Pers Nasional ini salah satunya, di tuntut untuk “Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi dan mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak Asasi Manusia.

Selain itu, Pers juga harus menghormati kebhinekaan, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar dalam melakukan pengawasan”. Pers juga sebagai sarana Pendidikan massa (mass education), Pers memuat tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan sehingga masyarakat bertambah pengetahuan dan wawasannya.

Tujuan dari kebebasan Pers adalah untuk melahirkan prinsip-prinsip demokrasi. Salah satu jasa Pemerintahan B.J. Habibie pasca Orde Baru yang harus kita syukuri ialah Pers yang bebas. Pemerintahan Presiden Habibie mempunyai andil besar dalam melepaskan kebebasan pers, sekalipun barangkali kebebasan pers ikut merugikan posisinya sebagai presiden.

Bagi B. J. Habibie, Pers adalah sarana untuk menjaga keseimbangan dalam pemerintahan sekalipun saat itu Presiden-nya B. J. Habibie tapi ia sangat paham pentingnya menjaga prinsip-prinsip kebebasan. B. J. Habibie belajar dari sejarah kelam bangsa, sehingga memberikan kebebasan bagi Pers merupakan keniscayaan mengedukasi rakyat di tengah-tengah masyarakat yang sangat plural.

Rakyat sudah seharusnya mengakses hak-hak poltik dan ekonomi sesuai prinsip-prinsip demokrasi yang kita anut. Maka, Pers adalah alat yang bisa menciptakan ruang dinamika antara mengakomodir kepentingan rakyat dan kepentingan Pemerintah (penguasa) dalam prinsip-prinsip demokrasi.

Pers Masa Kini

Sesuai judul paragraf tengah yaitu, “Pers Antara Etika dan Tuntutan“. Pertama, Jika Pers menerapkan Etika, maka, prinsip-prinsip pers harus menjadi acuan dalam membangun pemberitaan di masyarakat. Sebagaimana fungsi Pers yang dalam melaksanakan fungsinya. Ditujukan terhadap perorangan atau kelompok dengan maksud memperbaiki keadaan melalui tulisan yang disalurkan secara langsung atau tidak langsung terhadap aparatur pemerintahan atau lembaga-lembaga masyarakat yang terkait, sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Kedua adalah tentang “Tuntutan“. Yang dimaksud dengan tuntutan ini memiliki dua sudut pandang berbeda. Yaitu, apakah tuntutan peristiwa kebenaran, kejanggalan dan kasus di lapangan yang diangkat (update) atau memutar balik fakta yang didesain untuk membeking kelompok tertentu?

Atau menyembunyikan realitas masalah sesungguhnya. Dan sering kali ini yang terjadi bahwa seorang jurnalis terkadang dilema. Lebih mensupor kepentingan penguasa ketimbang kasus sesungguhnya. Kepentingan elektoral lebih penting ketimbang kasus sesungguhnya yang perlu diangkat.

Salah satu kasus misalnya. Tragedi Kemanusiaan di kabupaten Nduga Papua yang terjadi sejak Desember 2019 hilang dari pemberitaan. Media nasional maupun media lokal terkadang tidak mengakses situasi di Nduga karena dihadapkan pada kepentingan penguasa.

Padahal rakyat Nduga juga bagian tak terpisahkan dari Bangsa Indonesia. Media terkesan diskriminatif dan memilih mengangkat korban aparat yang korban kontak senjata ketimbang warga yang juga korban. Dan beberapa kasus Hak Asasi Manusia (HAM) yang belum diselesaikan di Paniai. Rentetan soal ini hilang dari pemberitaan, hanya beberapa media yang getol seperti Media Jubi sebagai media lokal.

Pelecut dari rentetan peristiwa masalah lalu hingga kini yang jarang diangkat, kemudian berimbas pada ekskalasi demonstrasi besar-besaran di Tanah Papua. Yaitu, gelombang protes terhadap pernyataan Wakil Wali Kota Malang dan masalah rasisme di Surabaya.

Demonstrasi yang terjadi di Papua akibat masalah Malang dan Surabaya tidak bisa dilihat parsial. Tapi harus dipelajari secara utuh dari berbagai sudut pandang. Salah satunya adalah tentang eksistensi Pers sebagai bagian dari menjaga keseimbangan demokrasi.

Pers tidak mampu menegakan prinsip-prinsip jurnalistik secara profesional. Sehingga kesan memihak ke penguasa ketimbang masyarakat Papua sebagai korban atas peristiwa itu. Akibatnya, kepercayaan (trust) masyarakat Papua terhadap Pers pun menurun.

Lantas Pers Masih Relevan?

Jika kita katakan, apakah Pers masih relevan? Tentu jawabannya, ya. Jika dalam prinsip Pers itu dikembalikan pada marwahnya sebagai fungsi kontrol dan pendidikan rakyat. Maka, tentunya dalam hidup berbangsa dan bernegara akan lebih baik.

Pers harus menjadi pilar dalam menjaga keseimbangan demokrasi yang subtansional. Pers harus mengedepankan pemberitaan yang kritis dan solutif. Harus bisa konsisten karena dengan konsistensi itu akan menumbuhkan pikiran-pikiran yang “educate“ sehingga masyarakat menjadi cerdas mencernah mana berita hoaks dan tidak.

Pemimpin tertinggi Pemerintahan hingga tingkatan paling bawah harus bisa menerima hasil kritik dari Pers sebagai kontrol sosial. Dari Kontrol sosial, pemerintah dapat mengoreksi diri dan mengevaluasi kebijakan.

Pemberitaan dari seorang Jurnalistik merupakan hasil observasi sosial yang akan menjadi landasan atau pijakan Pemerintah untuk membedah masalah secara komprehensif. Sehingga tidak boleh fobia terhadap ekspresi warga bangsa secara menyeluruh.

Karena itulah ekspresi dari persoalan yang di rasakan masyarakat. Yang kemudian di akomodir lewat pemberitaan-pemberitaan.

Konklusinya bahwa dalam Negara demokrasi, Pers tidak dapat dipisahkan dari Pemerintah, dalam hal ini Negara dan warga bangsa. Sebagai Warga Negara, patut mendapat perlakuan yang baik di mata media. Dan sebaliknya.

Maka, keseimbangan dalam menjaga harmonisasi ini, dibutuhkan narasi-narasi media yang mampu mengakomodir kepentingan semua pihak, selama itu dalam hal-hal positif. Kasus di Tanah Papua harus menjadi catat temporer dan kontenporer, dipelajari dari sudut pandang Pers.

Apakah pers harus ke Penguasa toh atau sebaliknya? Harapannya, Pers harus menjadi pilar dalam menjaga keseimbangan demokrasi, terutama kembali pada marwahnya sebagai pemegang otoritas pemberitaan.

*) Penulis adalah Pemerhati Sosial asal Papua Barat

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.