BINTUNI, kadatebintuni.com ~ Wilayah penangkapan kepiting masyarakat asli/lokal sekitar ekosistem Mangrove Teluk Bintuni, Papua Barat khususnya di distrik Babo dan juga beberapa distrik pesisir lainnya disekitar kawasan Teluk, berada dalam keterancaman.
Pasalnya, jumlah tangkapan Kepiting Bakau (Scylla sp.) yang menjadi salah satu komoditas utama serta sumber mata pencaharian penting bagi masyarakat asli/lokal di sekitar ekosistem Mangrove, semakin hari semakin menurun.
Faktor utama penyebab keterancaman adalah penangkapan kepiting oleh nelayan dari luar tanpa menerapkan prinsip penangkapan yang berkelanjutan. Akibatnya terjadi penurunan jumlah tangkapan kepiting oleh nelayan lokal.
Hal tersebut dikemukakan Sulfianto Alias Ketua Yayasan Panah Papua dalam rilisnya kepada kadatebintuni.com usai melakukan pertemuan bersama masyarakat maupun nelayan lokal sekitar ekosistem Mangrove utamanya distrik babo beberapa waktu lalu.
Menurut pengakuan beberapa nelayan asli/lokal Babo, salah satunya Rakiba Fiawei mengatakan bahwa saat ini wilayah tangkapan kepiting mereka semakin terancam. Katanya, saat ini butuh jarak tempuh yang cukup jauh barulah mendapatkan hasil.
“Dulu kitong pergi mencari di dekat sini, sudah banyak kepiting yang ditangkap namun setelah nelayan dari luar berdatangan, kita harus mencari jauh baru dapat kepiting,” ujar Rakiba.
Pengakuan serupa diutarakan Salma Tatuta. Ia mengeluhkan tingkah nelayan luar yang kerap melabuhkan sauh kapalnya disuatu lokasi selama berhari-hari demi mendapatkan tangkapan kepiting yang lebih banyak lagi.
“Nelayan dari luar dapat tinggal di atas kapal selama berhari hari di mangi mangi untuk menangkap kepiting sedangkan nelayan lokal hanya pada siang atau malam hari dan harus kembali ke kampung untuk menjual kepiting, jelas nelayan dari luar mampu menghasilkan lebih banyak kepiting karena waktu penangkapan lebih lama dibandingkan nelayan lokal,” tutur wanita yang juga sebagai Nelayan lokal penangkap kepiting dari kampong Irarutu III.
Sementara itu, Muh. Saiful Adha, SHut MM Kepala Distrik Babo menjelaskan bahwa Nelayan luar yang melakukan penangkapan kepiting di sekitar Distrik Babo telah mengantongi ijin dari pemilik hak ulayat. Namun kadang ijin ini tidak dikoordinasikan secara baik dengan pemerintahan Distrik.
“Ada ijinnya, tapi tidak ada koordinasi yang baik. Jadi pihak pemerintahan Distrik sulit mengatur dan menyelesaikan konflik dikemudian hari. Nanti ketika ada masalah baru masyarakat pemilik hak ulayat meminta bantuan kita,” ujar Muhammad Saiful Adha.
Lanjut Kadistrik, terdapat ijin diatas ijin yang diberikan oleh pemilik hak ulayat. Setiap anggota marga bisa menerbitkan ijin bagi nelayan luar dan ijin tersebut tidak dikoordinasikan dengan anggota marga lainnya. Terkadang muncul permasalahan juga antara pemilik hak ulayat akibat penerbitan ijin tersebut.
Nelayan lokal penangkap kepiting didominasi oleh nelayan perempuan setempat yang telah lama berprofesi sebagai penangkap kepiting. Nelayan tersebut masih menggunakan perahu dayung dan alat pancing (gae gae) dalam menangkap kepiting.
Pengetahuan tradisonal juga masih diterapkan dalam proses penangkapan kepiting seperti tidak mengambil kepiting betina yang memiliki telur pada bagian perutnya dan tidak mengambil kepiting berukuran kecil yang tertangkap.
Selain itu, nelayan juga masih memanfaatkan tanda alam agar diperoleh hasil tangkapan yang baik seperti melihat kondisi pasang surut air alut hingga identifikasi keberadaan kepiting dengan indikator jejak kaki kepiting.
Busman Al Katiri selaku Tokoh Masyarakat Setempat berharap Bupati Teluk Bintuni Ir. Petrus Kasihiw, MT dapat mengeluarkan kebijakan daerah untuk mengakui dan melindungi nelayan lokal, wilayah tangkap, serta kearifan lokal yang diterapkan oleh masyarakat setempat.
“Sangat penting agar barang ini bisa diatur secara baik, selain itu kami sarankan juga agar lembaga masyarakat adat dapat memberlakukan lagi sanksi adat di wilayah tertentu agar proses alami perkembangbiakan kepiting dapat pulih dengan sendirinya” tutup Busman. [mondo]