Oleh: Natalius Pigai
Saya telah lama diam dan tidak berkomentar mengenai Perpres Tenaga Kerja Asing (TKA). Makin lama makin miris, para kaum oposisi berpolemik politik, kaum penguasa berpanggung sandiwara. Seharusnya pemerintah tidak boleh defensif atas kritikan karena demi kebaikan umum (bonum commune), demi negara (et Patria).
Hari ini seantro negeri ini berpolemik serius tentang hadirnya Perpres nomor 20 tahun 2018 tentang Penempatan Tenaga Kerja Asing (TKA). Kritikan paling menohok dari kelompok oposisi adalah kemudahan dan aksesibilitas bagi pekerja asing untuk mengisi berbagai lapangan kerja yang tersedia di Indonesia. Sementara argumentasi pemerintah terkesan amatir, defensif dan membela diri.
Inti persoalan utama tidak hanya soal petunjuk teknis penempatan TKA yang tertuang dalam Perpres 20 tahun 2018 dan juga petunjuk pelaksanaan melalui peraturan Menteri Tenaga Kerja yang akan dirumuskan, tetapi masalah yang paling substansial adalah menabrak bahkan melampaui, jauh lebih liberal dari prinsip kepentingan bangsa dan negara yang justru tiap negara diberi keleluasaan menentukan hambatan (barier) di dalam perjanjian multilateral melalui general agreement on trade and tariff and Services (GATS) yang dihasilkan dalam putaran Uruguay (Uruguay Round) oleh World Trade Organization (WTO) pada tahun 1994.
Pemerintah perlu pahami bahwa Liberalisasi perdagangan bebas bukan berarti sangat liberal dan dunia tanpa batas (borderles nations) seperti yang digambarkan oleh Kunichi Ohmae. Berdasarkan perjanjian GATS setiap negara diberi kewenangan untuk menentukan kepentingan nasional melalui Tes Kebutuhan Economi (Economic Need Test/ENT).
Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian Perdagangan seharusnya melakukan perdagangan sektor jasa profesi tenaga kerja melalui mekanisme permintaan (request) dan penawaran (offer) dari China sebagai mekanisme baku yang dihormati dalam perjanjian multilateral yaitu dirumuskan dalam penjanjian resiprokal dan saling pengakuan (Mutual Recognition Agreement/MRA). Meskipun hampir seluruh mitra dagang Indonesia mempermasalahkan adanya ENT karena dianggap diskriminatif dan berpotensi ke arbitrasi. Sejak awal mitra dagang asing takut jika pemerintah menerapkan ENT tetapi menjadi persoalannya adalah Indonesia juga tidak pernah membuat regulasi yang kuat yang bersifat proteksionisme.
Kalau pemerintah mengikuti mekanisme perdagangan pasar kerja internsional maka sangat mustahil tenaga kerja rendahan dari China bisa masuk ke negara kita. Test kebutuhan ekonomi atau ENT tersebut Sebenarnya ada pembatasan atau barier untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia. Kedua kementerian baik Kementerian Perdagangan dan juga Kemenaker terkesan tidak nasionalis, tidak mengedepankan kepentingan bangsa Indonesia khususnya angkatan kerja sudah mencapai 130 juta dan penganggur yang tinggi 7,04 juta orang.
Memang, kita mesti mengakui bahwa Indonesia adalah negara pengirim (sending country), China khususnya Hongkong adalah negara penerima (receiving country), namun kebutuhan antara Indonesia dan Hongkong Republik China tentu berbedah, TKI Indonesia mengisi jenis pekerjaan yang tidak disukai oleh angkatan kerja Hongkong/China sebagai pekerja rumah tangga. Sementara Indonesia membuka kesempatan kerja bagi pekerja China justru di sektor formal, industri dan manufaktur yang tentu berpatokan yang membutuhkan kualifikasi standarisasi, sertifikasi profesi dan kompetensi.
Namun persoalannya, kita semua tidak mengetahui bagaimana menguji kompetensi TKA China jika Indonesia tidak menentukan hambatan (barier) khususnya melalui test kebutuhan ekonomi (Economic Need Test) tersebut di atas. pemerintah saat ini terkesan mengelola negara ini secara amatiran, kurang profesional. Padahal mekanisme Request & Offer, Economic Need Test maupun juga MRA dalam liberalisasi perdagangan dunia melalui GATS diperbolehkan adanya alat filter agar menjaga kepentingan dan wibawa negara.
Saya menduga perjanjian bilateral yang dibuat pemerintan Indonesia dengan Pemerintah China tidak berdasarkan Mutual Recognition Agreement (MRA) sehingga Indonesia selalu rugi terhadap China, bayangkan TKI di Hongkong hanya bekerja di sektor informal sebagai pekerja rumah tangga, artinya TKI Indonesia kualifikasinya diturunkan (Down-graded) sehingga perlindungan tidak bisa optimal. Berbagai laporan baik oleh kedutaan, asosiasi tenaga kerja juga tenaga kerja itu sendiri telah nyata mengganggu prinsip perdagangan pasar pekerja internasional yaitu: nondiskriminasi (most favourable nations) dan perlakuan yang sama/ egual (national treatment). Sementara kita memberi peluang besar kepada TKA China untuk bekerja di berbagai posisi dan jabatan bahkan hampir semua Sekmen usaha. Oleh karena itu, pemerintah jangan marah ketika rakyat menuduh Pemerintah Jokowi benar-benar memanjakan China Komunis.
Penempatan Tenaga Kerja dalam sistem perdagangan dunia oleh WTO melalui GATS berdasarkan pasal 1:2 pada putaran Uruguay disebut sebagai perdagangan jasa profesi yang masuk dalam Modalitas pasokan (mode of supply) pada Mode 4 yaitu: menginginkan kedatangan tenaga kerja profesional jasa asing (movement of natural persons) dengan mempertimbangkan kompetensi khusus. Dalam konteks Ini TKA masuk ke Indonesia tanpa melalui ENT maka harapan GATS dimana tiap negara saling menguntungkan dan resiprokal melalui transfer sumber daya pengetahuan (resources transfer )tidak akan terjadi bagi bangsa kita. Hal ini kontras dengan paradigma liberalisasi mengalami pergeseran dari kompetitif menjadi resiprokal tersebut agar negara-negara maju termasuk China transfer pengetahuan, ketrampilan dan juga budaya kerja.
Pada saat ini, saya amati, China yang komunis sedang memainkan mekanisme liberalisasi untuk menekan dan menyandera Indonesia. Lihat saja dalam Mode 4 sistem perdagangan jasa berdasarkan GATS ada 4 kategori tekait penempatan tenaga kerja yang disebut temporary labour migration TKA China di Indonesia yaitu:
1). Intera corporate transfer yaitu perusahaan China yang menanam modal di Indonesia membawa tenaga kerjanya. 2). Contractual service suppliers yaitu tenaga kerja berdasarkan order. 3). Business Visitors pengusaha asing yang sebagai pekerja perusahaannya. 4). Individual Profesional, Tenaga Kerja yang memiliki kompetensi. Oleh karena itu maka wajar jika negara komunis China dengan investasi yang besar justru melakukan penetrasi dengan memainkan dan menekan negara-negara miskin termasuk Indonesia melalui mekanisme liberaliasi.
Catatan penting bagi Presiden adalah karena dalam investasi asing kita pasti lebih lunak pada investor China yang menawarkan TKA sebagai paket negosiasi mereka, maka sudah seharusnya Presiden memerintahkan Kementerian Tenaga Kerja untuk memasukan Economic Need Test sebagai alat filter untuk dimasukan dalam Rencana Tenaga Kerja Nasional (RTKN) khususnya RTK Mikro terkait demand dan supply TKA. Semoga bermanfaat!
(Natalius Pigai, Staf Khusus Menakertrans 1999-2005, Mantan Peneliti Bidang Migrasi Tenaga Kerja, Kemenakertrans RI. Penulis Buku Migrasi Tenaga Kerja Internaaional, Pustaka Sinar Harapan Jakarta, 2005)