MANOKWARI, kadatebintuni.com ~ Sepanjang tahun 2018, LP3BH mencatat negara seakan lupa bagaimana menghormati hak-hak rakyat Papua dalam konteks kebebasan berserikat dan kebebasan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya sebagaimana telah dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945.
Direktur Eksekutif LP3BH, Yan Ch Warinussy, Sabtu (29/12) mengatakan hal tersebut dalam rinciannya mengenai seberapa jauh perlindungan HAM bagi rakyat Papua sepanjang tahun 2018 kepada kadatebintuni.com.
Kata Yan, di berbagai kota besar di Tanah Papua seperti Jayapura, Merauke, Wamena, Biak, Nabire, Serui, Manokwari, Sorong dan Fakfak, aksi damai yang dilakukan oleh rakyat sipil selalu dihadapi secara anarkis oleh aparat keamanan.
“Aksi damai melalui elemen mahasiswa, pemuda dan organisasi perjuangan Papua seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB) senantiasa dihadapi secara anarkis oleh aparat kepolisian dan TNI yang seringkali dimulai lewat penolakan terhadap Surat Pemberitahuan Aksi,” jelas Yan.
Dinilainya, pihak Polri jarang menyiapkan dan atau ruang untuk terjadi dialog antara para massa pengunjuk rasa dengan para pemangku kepentingan di Tanah Papua. Ia kemudian mencontohkan beberapa aksi yang terekam sepanjang 2018.
“Ini semua tercatat pada moment perayaan hari Bangsa Pribumi Internasional 9 Agustus, Hari Integrasi/Aneksasi Papua Barat 1 Mei, Hari Perjanjian New York 15 Agustus, dan Hari HAM Internasional 10 Desember,” sebut Direktur LP3BH Manokwari itu.
“Lembaga kami mencatat di sepanjang tahun 2018 hampir mendekati 1.500 orang warga sipil pernah mengalami penangkapan dan penyiksaan oleh aparat keamanan karena menyampaikan pendapat yang berbeda dalam setiap aksi damai tersebut,” jelasnya.
Sayangnya, ia mengamati kasus penganiayaan tersebut tidak pernah diusut dan pelakunya dari aparat polisi dijatuhi sanksi sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Sehingga impunitas terus terjadi.
Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Di sepanjang tahun 2018 juga, LP3BH Manokwari sama sekali tidak melihat adanya upaya serius dari Presiden Joko Widodo dalam memenuhi janjinya untuk menyelesaikan kasus dugaan pelanggaran HAM yang berat di Tanah Papua.
“Ketiga kasus seperti Wasior (2001), Wamena (2003), dan Paniai (2014) sama sekali tidak dilanjutkan proses hukumnya dengan berbagai dalih dan alasan yang bukan bersifat hukum. Padahal ketiga kasus tersebut kuat mengandung fakta hukum dan bukti hukum untuk ditindak-lanjuti ke pengadilan HAM,” kesal Yan.
Ia sedikit kecewa bahwa sejak awal Presiden Jokowi memulai masa pemerintahannya, baik di dalam Nawacitanya maupun dalam janjinya di perayaan Natal Nasional 27/12/2014 di Stadion Mandala-Jayapura, Jokowi menjanjikan penuntasan ketiga kasus dugaan pelanggaran HAM di Tanah Papua tersebut.
“Namun hingga tersisa waktu jelang akhir masa jabatanya saat ini, Jokowi belum mewujudkan janjinya sekaligus memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum bagi para korban kasus Wasior, Wamena dan Paniai tersebut,” ucap Advokat sekaligus pembela HAM di tanah Papua ini.
Pelanggaran HAM Nduga
Sementara itu jelang akhir tahun 2018, LP3BH Manokwari mencatat adanya dugaan pelanggaran HAM yang Berat telah terjadi pada kasus Nduga akibat operasi militer oleh TNI untuk mengejar Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB).
“Dari laporan-laporan para mitra LP3BH di Nduga, Wamena dan sekitarnya dapat diperoleh asumsi kuat bahwa ada indikasi tindakan aparat keamanan TNI dalam operasi militer di Nduga yang mengandung unsur pelanggaran HAM yang berat sebagai dimaksud dalam amanat Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU RI No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM,” tegas Yan.
Presiden Jokowi disarankan agar memerintahkan dibukanya akses ke Nduga bagi para pekerja HAM, Komnas HAM dan Jurnalis nasional dan internasional untuk melakukan investigasi di saat ini.
LP3BH memiliki asumsi kuat bahwa telah terjadi dugaan pelanggaran HAM yang Berat dalam kasus Nduga berdasarkan 3 (tiga) fakta.
Pertama, sikap dasar dari Gubernur Papua Lukas Enembe yang secara berani mengeluarkan permintaan tulus kepada Presiden Jokowi agar memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri menarik pasukannya dari Nduga agar rakyat bisa tenang merayakan Natal 2018.
Permintaan Gubernur Enembe sangat berdasar dan pasti terjadi atas berbagai informasi yang sudah dia terima dari rakyatnya sendiri. Pernyataan Gubernur Enembe begitu sangat ditakuti oleh negara sampai ada reaksi dari TNI melalui Pangdam XVII/Trikora dan Kapendamnya. Kemudian dilanjutkan dengan pertemua Forkopimda Papua sehari lalu di Rumah Negara Dok V Jayapura.
Kedua, atas dasar tindakan negara melalui aparat keamanan polisi yang telah melakukan penangkapan terhadap aktivis perempuan Papua dari KNPB atas nama Raga Kogoya dan terus mengejar yang bersangkutan hingga hari ini, karena wawancaranya dengan salah satu jaringan televisi asing mengenai kasus Nduga.
Hal ketiga, adanya upaya TNI dengan menggunakan fasilitasi dari sebuah lembaga bernama PAK-HAM Papua untuk melakukan acara panah babi dan makan bersama di Nduga belum lama ini.
“Ketiga fakta diatas kita bisa berasumsi, kenapa bisa seorang Gubernur Lukas Enembe mengeluarkan permintaan tulus kepada Presiden kok sangat ditakuti bahkan cenderung sangat tidak disukai oleh aparat keamanan TNI dan Polri? Kenapa seorang ibu Raga Kogoya yang diwawancarai di sebuah televisi swasta saja bisa terus dikejar oleh aparat keamanan ? Kenapa ada acara panah babi, bakar babi dan makan babi bersama TNI dengan Masyarakatndi Nduga? Ibarat ada asap ada api atau ada akibat maka pasti sebelumnya ada sebab (hukum causalitas),” tanya Yan
Catatan LP3BH Manokwari di akhir tahun 2018 ditutup dengan usulan kepada Presiden Jokowi untuk memanggil segera Ketua Komnas HAM untuk segera melakukan investigasi HAM ke Nduga.
Presiden Jokowi juga diminta harus memerintahkan dibentuknya Pengadilan HAM di Jayapura-Papua serta instruksikan Jaksa Agung RI untk segera membawa kasus dugaan pelanggaran HAM Berat Wasior dan Wamena ke Pengadilan HAM di Jayapura-Papua.
Selain itu, Presiden juga mesti memerintahkan Panglima TNI segera membuka akses bagi Komnas HAM RI untuk melakukan pemeriksaan pro justitia terhadap segenap personil TNI dari satuan Paskhas TNI AU yang bertugas pada tanggal 8 Desember 2014 di sekitar lapangan Karel Gobay-Enarotali-Kabupaten Paniai.
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Implementasi konstitusional lebih lanjut diatur di dalam Pasal 28 dan Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28 J UUD 1945.
Kemudian dalam konteks operasionalnya di sektor perlundungan hak asasi manusia, diatur dalam UU RI No.39 Tahun 1999 Tentang HAM dan UU RI No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
Karena LP3BH memfokuskan catatan ini pada soal perlindungan HAM sepanjang tahun 2018 di Tanah Papua, maka pijakan hukumnya adalah juga memakai UU RI No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Khususnya pada Pasal 45, Pasal 46 dan Pasal 47 UU RI No.21 Tahun 2001 tersebut.
Berkenaan dengan itu, kendatipun ruang politik dalam upaya penyelesaian hukum terhadap berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM termasuk pelanggaran HAM yang berat di Tanah Papua sudah disediakan demikian rupa, akan tetapi dalam implementasinya masih ibarat jauh panggang dari api. [mondo]